Thursday, November 03, 2005

Pesan Pesan Pemimpin Dunia

FRANKLIN D ROOSEVELT :

(SBY & MJK serta para Elite Politik)

Satu satunya penghalang untuk melaksanakan cita cita kita besok adalah keragu-raguan kita hari ini, Marilah kita melangkah kedepan dengan segala tekad dan kekuatan.


TUILIUS CICERO :

(Aktivis Gentar seluruh Indonesia)

Kita belajar sejarah bukan untuk menjadi lebih pandai, tetapi untuk lebih bijaksana.


ABRAHAM LINCOLN :

(pesan untuk para pejabat POLRI yang terindikasi dalam transaksi yang mencurigakan ? , 15 Pati dan Pamen)

Kehormatan lebih baik daripada uang.


Pesanku jangan lupa kasih alamat homepage ini ke teman Anda sebagai dukungan terhadap gerakan Hati nurani yang sampai saat ini berjalan dengan baik dan telah membawa beberapa pencerahan. info : 0815 2412 7777 (Victor da Costa)

NEWS NEWS NEWS

SATU TAHUN MEMBERANTAS KORUPSI
October 26, 2005

KOMPAS, 26 Oktober 2005

Saldi Isra ; Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang ; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia

Tanggal 20 Oktober 2005 lalu genap satu tahun Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari sekian banyak agenda yang pernah ditawarkan, pemberantasan korupsi merupakan agenda primadona dan prioritas Yudhoyono dalam satu tahun pertama.

Dikatakan demikian karena selama masa kampanye (maupun saat baru dilantik), Yudhoyono berjanji akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi.

Untuk memenuhi janji memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi, Yudhoyono telah melakukan banyak langkah penting. Dimulai dengan program terapi kejut (shock therapy) seratus hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Yudhoyono melanjutkan langkahnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 5/2004).

Belum lagi hasil Inpres No 5/2004 diketahui, Yudhoyono melangkah lagi dengan menerbitkan Keputusan Presiden No 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).

Lalu, bagaimana capaian agenda pemberantasan korupsi Yudhoyano dalam satu tahun pertama menjadi presiden?

Jaksa Agung

Pada bulan-bulan pertama menjadi presiden, Yudhoyono mampu melakukan langkah strategis dengan mempermudah memberikan izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi.

Jika sebelumnya izin begitu sulit didapatkan, Yudhoyono membuktikan, izin pemeriksaan tidak lagi menjadi alat untuk melindungi pejabat publik yang melakukan korupsi. Karena itu, dalam seratus hari pertama, Yudhoyono telah menerbitkan puluhan izin untuk memeriksa pejabat publik baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Sayang, langkah itu tidak cukup untuk memenuhi janji Yudhoyono untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi. Dikatakan demikian, sejak anggota KIB dilantik, sudah mulai terlihat tanda-tanda tidak mudah bagi Yudhoyono mencapai quick wins dalam pemberantasan korupsi.

Selain ada sejumlah anggota kabinet yang terindikasi terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), barisan kabinet dalam bidang hukum juga tidak terlalu memberi optimisme mewujudkan janji Yudhoyono, terutama dalam membongkar kasus-kasus megakorupsi.

Sebetulnya, untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi, SBY mesti didukung tim hukum yang bersih, kredibel, dan punya keberanian extra-ordinary menghadapi para koruptor.

Dalam hal ini, secara jujur harus diakui, Yudhoyono gagal mendapatkan tim hukum yang memenuhi semua kriteria itu. Misalnya, Jaksa Agung amat hati-hati mengungkap korupsi. Kehati-hatian itu menimbulkan kesan, Jaksa Agung lamban dan tidak punya keberanian untuk membongkar korupsi.

Padahal, dalam Inpres No 5/2004 Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi guna menghukum pelaku dan menyelamatkan keuangan negara. Selain itu, Jaksa Agung harus mencegah dan memberi sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan jaksa/penuntut umum dalam penegakan hukum.

Apakah dengan menuntaskan 465 kasus korupsi sejak Oktober 2004 hingga September 2005 (Kompas, 18/10) Jaksa Agung masih dinilai gagal mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi? Secara kuantitatif dan kualitatif tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan, Jaksa Agung berhasil melakukan percepatan agenda pemberantasan korupsi.

Dari luas dan akutnya praktik korupsi yang terjadi, secara kuantitatif angka 465 kasus masih amat jauh dari jumlah potensi kasus korupsi yang masih mungkin ditindaklanjuti. Apalagi, secara kualitatif, kasus-kasus yang ditangani kejaksaan masih kalah dibanding dengan kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tidak hanya itu, dalam upaya pembenahan internal, Jaksa Agung tidak berani mengganti pejabat di lingkungan kejaksaan yang memiliki track record tidak baik dalam menangani kasus-kasus korupsi. Padahal, membersihkan internal kejaksaan merupakan prasyarat mutlak untuk melakukan lompatan besar dalam menghadapi para koruptor.

Tim Tastipikor

Melihat perkembangan yang tidak menggembirakan itu, melalui Keppres No 11/2005, SBY membentuk Tim Tastipikor. Pembentukan Tim Tastipikor disertai parameter dan beban tugas yang lebih terukur, yaitu untuk segera melakukan langkah hukum atas 16 BUMN, 4 departemen, 3 perusahaan swasta, dan 12 koruptor yang lari ke luar negeri.

Segera setelah terbentuk, Tim Tastipikor memperlihatkan kemajuan besar. Buktinya, dalam waktu singkat, Tim Tastipikor berhasil membongkar kasus korupsi dana abadi umat (DAU) di Departemen Agama, Bank Mandiri, dugaan korupsi aset- aset yang dikelola Sekretariat Negara, dan dugaan korupsi PT Jamsostek.

Sayang, ketika sedang berupaya membongkar secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam korupsi DAU dan Bank Mandiri, Tim Tastipikor seperti sedang menghadapi tembok amat kuat.

Dalam situasi seperti itu dukungan Yudhoyono kepada Tim Tastipikor hampir tidak terdengar lagi. Berbarengan dengan itu beredar kabar, Tim Tastipikor diperingatkan untuk tidak melangkah lebih jauh. Jika kabar itu benar, agenda pemberantasan korupsi sedang menuju pengalaman pemerintahan sebelumnya, mati pelan-pelan alias gagal.

Lalu, langkah apakah yang mesti dilakukan menghadapi tahun kedua? Sederhana saja, Yudhoyono mesti mampu melakukan koreksi total terhadap semua upaya yang telah dilakukan dalam satu tahun pertama. Kemudian, menyingkirkan semua orang yang tidak mendukung (apalagi menghalangi) agenda pemberantasan korupsi. Gampang bukan?

Saldi Isra Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang ; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia


SATU TAHUN MEMBERANTAS KORUPSI
October 26, 2005

KOMPAS, 26 Oktober 2005

Saldi Isra ; Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang ; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia

Tanggal 20 Oktober 2005 lalu genap satu tahun Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Dari sekian banyak agenda yang pernah ditawarkan, pemberantasan korupsi merupakan agenda primadona dan prioritas Yudhoyono dalam satu tahun pertama.

Dikatakan demikian karena selama masa kampanye (maupun saat baru dilantik), Yudhoyono berjanji akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi.

Untuk memenuhi janji memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi, Yudhoyono telah melakukan banyak langkah penting. Dimulai dengan program terapi kejut (shock therapy) seratus hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Yudhoyono melanjutkan langkahnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 5/2004).

Belum lagi hasil Inpres No 5/2004 diketahui, Yudhoyono melangkah lagi dengan menerbitkan Keputusan Presiden No 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor).

Lalu, bagaimana capaian agenda pemberantasan korupsi Yudhoyano dalam satu tahun pertama menjadi presiden?

Jaksa Agung

Pada bulan-bulan pertama menjadi presiden, Yudhoyono mampu melakukan langkah strategis dengan mempermudah memberikan izin pemeriksaan bagi pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi.

Jika sebelumnya izin begitu sulit didapatkan, Yudhoyono membuktikan, izin pemeriksaan tidak lagi menjadi alat untuk melindungi pejabat publik yang melakukan korupsi. Karena itu, dalam seratus hari pertama, Yudhoyono telah menerbitkan puluhan izin untuk memeriksa pejabat publik baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Sayang, langkah itu tidak cukup untuk memenuhi janji Yudhoyono untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi. Dikatakan demikian, sejak anggota KIB dilantik, sudah mulai terlihat tanda-tanda tidak mudah bagi Yudhoyono mencapai quick wins dalam pemberantasan korupsi.

Selain ada sejumlah anggota kabinet yang terindikasi terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), barisan kabinet dalam bidang hukum juga tidak terlalu memberi optimisme mewujudkan janji Yudhoyono, terutama dalam membongkar kasus-kasus megakorupsi.

Sebetulnya, untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi, SBY mesti didukung tim hukum yang bersih, kredibel, dan punya keberanian extra-ordinary menghadapi para koruptor.

Dalam hal ini, secara jujur harus diakui, Yudhoyono gagal mendapatkan tim hukum yang memenuhi semua kriteria itu. Misalnya, Jaksa Agung amat hati-hati mengungkap korupsi. Kehati-hatian itu menimbulkan kesan, Jaksa Agung lamban dan tidak punya keberanian untuk membongkar korupsi.

Padahal, dalam Inpres No 5/2004 Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi guna menghukum pelaku dan menyelamatkan keuangan negara. Selain itu, Jaksa Agung harus mencegah dan memberi sanksi terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan jaksa/penuntut umum dalam penegakan hukum.

Apakah dengan menuntaskan 465 kasus korupsi sejak Oktober 2004 hingga September 2005 (Kompas, 18/10) Jaksa Agung masih dinilai gagal mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi? Secara kuantitatif dan kualitatif tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan, Jaksa Agung berhasil melakukan percepatan agenda pemberantasan korupsi.

Dari luas dan akutnya praktik korupsi yang terjadi, secara kuantitatif angka 465 kasus masih amat jauh dari jumlah potensi kasus korupsi yang masih mungkin ditindaklanjuti. Apalagi, secara kualitatif, kasus-kasus yang ditangani kejaksaan masih kalah dibanding dengan kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tidak hanya itu, dalam upaya pembenahan internal, Jaksa Agung tidak berani mengganti pejabat di lingkungan kejaksaan yang memiliki track record tidak baik dalam menangani kasus-kasus korupsi. Padahal, membersihkan internal kejaksaan merupakan prasyarat mutlak untuk melakukan lompatan besar dalam menghadapi para koruptor.

Tim Tastipikor

Melihat perkembangan yang tidak menggembirakan itu, melalui Keppres No 11/2005, SBY membentuk Tim Tastipikor. Pembentukan Tim Tastipikor disertai parameter dan beban tugas yang lebih terukur, yaitu untuk segera melakukan langkah hukum atas 16 BUMN, 4 departemen, 3 perusahaan swasta, dan 12 koruptor yang lari ke luar negeri.

Segera setelah terbentuk, Tim Tastipikor memperlihatkan kemajuan besar. Buktinya, dalam waktu singkat, Tim Tastipikor berhasil membongkar kasus korupsi dana abadi umat (DAU) di Departemen Agama, Bank Mandiri, dugaan korupsi aset- aset yang dikelola Sekretariat Negara, dan dugaan korupsi PT Jamsostek.

Sayang, ketika sedang berupaya membongkar secara tuntas semua pihak yang terlibat dalam korupsi DAU dan Bank Mandiri, Tim Tastipikor seperti sedang menghadapi tembok amat kuat.

Dalam situasi seperti itu dukungan Yudhoyono kepada Tim Tastipikor hampir tidak terdengar lagi. Berbarengan dengan itu beredar kabar, Tim Tastipikor diperingatkan untuk tidak melangkah lebih jauh. Jika kabar itu benar, agenda pemberantasan korupsi sedang menuju pengalaman pemerintahan sebelumnya, mati pelan-pelan alias gagal.

Lalu, langkah apakah yang mesti dilakukan menghadapi tahun kedua? Sederhana saja, Yudhoyono mesti mampu melakukan koreksi total terhadap semua upaya yang telah dilakukan dalam satu tahun pertama. Kemudian, menyingkirkan semua orang yang tidak mendukung (apalagi menghalangi) agenda pemberantasan korupsi. Gampang bukan?

Saldi Isra Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang ; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia

No comments: