Friday, October 21, 2005

ADA BOM LAGI ???

“Masih adakah BOM yang akan meledak di Indonesia ?”

Pemilihan judul tulisan ini memang merupakan pertanyaan saya secara pribadi dan bisa jadi mewakili pertanyaan dari para pembaca lainnya namun pilihan ini tidak bermaksud membangun sebuah wacana baru tentang perdebatan “J-I” dan Teroris di Indonesia melainkan lebih merupakan ajakan saya kepada setiap pembaca untuk menyadari bahwa besar / kecilnya sebuah Kekuatan teror itu sendiri sebenarnya terletak pada kemampuan kita dalam meresponi sebuah kejadian Teror (Kerusuhan/Peledakan Bom tersebut). Kemampuan dalam mengelola rasa takut akan Kehilangan Harta benda atau nyawa kita. Pengalaman pertama kali ke Hongkong ditahun 1995 telah menyebabkan saya memahami hal ini di saat saya harus menyaksikan reaksi dari saudara saya yang telah tinggal lama disana saat Kekagetan saya akan suara Tembakan pistol ditengah-tengah gang / jalan dari Rimbunan apartemen. Ketenangannya seolah sangat terlatih (faktor terbiasa, ala bisa karena biasa) seakan tidak takut akan peluru nyasar yang sering terjadi di Indonesia. Namun bagaimanapun suara ledakan pistol jelaslah sangat berbeda dengan suara sebuah ledakan BOM.

Kejadian Bom Bali II dan tudingan terhadap BIN/Aparat yang kecolongan telah memotivasi saya hingga tulisan ini hadir dihadapan pembaca. Sebuah fakta dari Kejadian Teror di Amerika Serikat di Gedung Kembar WTC beberapa tahun silam didalam pengungkapan faktanya terlihat dengan jelas bahwa seluruh kegiatan para teroris telah teridentifikasi jauh-jauh hari sebelumnya namun oleh suatu dan lain hal yang dapat diklafisikasikan sebagai Human Eror telah melumpuhkan kemampuan pemerintah USA dalam mengupayakan pencegahan aksi tersebut. Apakah hal ini mengindikasikan akan adanya upaya lain dengan tujuan-tujuan tertentu bagi kepentingan politik presiden Amerika Serikat di timur tengah saat itu (Afghanistan dan Irak) atau lebih merupakan indikasi akan adanya “kekuatan lain” yang sedang mereduce kekuatan Amerika secara perlahan-lahan agar pusat kekuatan dunia itu kembali ke benua Eropa sebagai negeri asal dari para Founding Fathers Benua Amerika. Yah masing-masing kita bebas meng-interpretasi-kannya sesuai dengan pemahaman kita akan kepentingan bersama dalam era Globalisasi pada milenium ketiga ini.

Dengan asumsi-asumsi yang sama akan adanya “UPAYA lain dengan tujuan-tujuan tertentu” serta “Kekuatan lain” yang mengatasnamakan demi Kepentingan bersama dari beberapa Kelompok / Kepentingan dalam Aksi-aksi teror di Amerika Serikat tersebut diatas dan dengan metode pengumpulan fakta yang kurang lebih sama dengan cara amerika mengungkap kasus ini untuk membedah berbagai kasus teror yang telah terjadi diNegeri tercinta ini. Maka pastilah kita menemukan kebuntuan. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat bukanlah Indonesia dan CIA+FBI bukanlah BIN . Amerika Serikat hanya memiliki dua Kekuatan Politik yakni Partai Demokrat dan Partai Liberal sementara Indonesia (berdasarkan Pemilu 2004) Kemarin memiliki banyak Partai sehingga identifikasi akan “UPAYA lain” demi pengamanan akan sebuah kebijakan seperti yang beredar luas di masyarakat saat ini atau akan adanya “Kekuatan lain” yang sedang mereduce/melemahkan pemerintahan yang berkuasa seperti yang disinyalir oleh Presiden SBY (yang disampaikan oleh Jubir Presiden pada salah satu harian menjelang pengumuman kenaikan BBM) menjadi jauh lebih sulit dan hal itu hanya merupakan wacana yang dibangun berdasarkan asumsi dan bukan pada Fakta. Belum lagi bila kita berbicara tentang fakta dari sejarah Negara Amerika Serikat dan Indonesia jelaslah berbeda. Amerika adalah sebuah negara yang dibangun oleh para pendatang dan telah berumur ratusan tahun lalu. Sementara Indonesia dibangun oleh rasa senasib dan seperjuangan akan sebuah penjajahan (Sumpah Pemuda ,28 oktober 1928) .Begitu juga dengan letak dan bentuk geografis dari kedua negara sangatlah berbeda.

Proses pengungkapan fakta / penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI yang disinyalir oleh berbagai pihak terkesan lamban dan mengulur-ulur waktu dan sangat berbeda dengan kesigapan POLRI dalam kasus-kasus BOM sebelumnya serta adanya beberapa kejanggalan seputar keberadaan Video Camera yang merekam salah satu pelaku Bom bunuh diri di salah satu tkp dan secara jelas merekam detik-detik terakhir dari peledakan Bom tersebut dan ditambah lagi dengan adanya pernyataan polisi federal australia yang tiba sehari sesudah peristiwa dan melakukan penyelidikan berupa adanya perbedaan bahan dan jenis Bom yang digunakan dengan peristiwa Bom Bali pertama yang terkesan berbeda dengan penjelasan POLRI tentang ditemukannya Baterai yang merupakan ciri dari para kelompok pengebom Bom bali pertama yang kemudiaan dikoreksi oleh Kapolda Bali sebagaimana yang beredar sekarang akan sebuah generasi baru Teroris seakan telah memberikan bahan bagi berbagai spekulasi seputar Bom Bali II yang hingga hari ke 13 pasca Bom belum juga teridentifikasinya para Aktor / dalangnya.

Bagaimanapun juga pernyataan Mantan kepala BIN (yang beberapa waktu lalu diperiksa berkaitan Kematian Aktivis HAM MUNIR,SH) pada sebuah wawancara / acara disalah satu televisi swasta (METRO REALITAS) tentang ketiadaan Payung Hukum terhadap kinerja BINlah yang telah melemahkan kemampuan BIN dalam memaksimalkan perannya dalam mencegah Aksi-aksi teror dan menuntut adanya kesatuan pandangan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam memanfaatkan Fungsi dan Peranan BIN dalam penyelenggaraan Negara seakan menambah panjang deretan pertanyaan yang timbul dan entah kapan akan terjawab.

Jadi penggunaan metode atau asumsi-asumsi yang sama dengan Amerika Serikat justru akan semakin memperburuk kemampuan nalar dan kesadaran Nurani akan upaya mengidentifikasi permasalahan yang ada yang tentunya menyulitkan kita dalam mengantisipasi akan terulangnya kembali peristiwa serupa.

Dalam kondisi yang sangat membebani saat ini oleh kenaikan BBM ,saya tergerak melalui tulisan ini untuk mengajak para pembaca dan kepada kepala daerah Kabupaten/Kota sebagai ujung tombak pemerintahan dalam upaya menjaga keamanan daerahnya masing-masing dengan mengawalinya dalam sebuah bentuk Empati akan beratnya beban masyarakat saat ini berupa

  1. Ketegasan dalam membersihkan daerahnya dari praktek KKN (yang berdampak pada pemborosan Anggaran dan berbagai penyimpangan yang dapat menjadi pemicu bagi berbagai ketidak puasan masyarakat pada Pemerintah).
  2. Aktif dalam upaya Penegakan Hukum di daerahnya.
  3. Mengintensifkan pengawasan langsung akan berbagai program bantuan dalam kebijakan Kompensasi Subsidi BBM berupa BOS (biaya operasional sekolah) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai)

Dasar dari ajakan ini adalah kekhawatiran saya pada kemungkinan tidak terungkapnya Dalang peledakan Bom Bali II hingga kejadian / Aksi Teror berikutnya yang bukan sangat mungkin terjadi dalam situasi depresi akan beratnya tekanan Ekonomi Biaya tinggi saat ini dan keengganan Presiden SBY dalam mengantisipasi kekuatan (yang hanya 38% ; Hasil Poling popularitas presiden pasca kenaikan BBM) kolektif dari ketidakpuasaan komponen masyarakat akan kinerja pemerintahannya pada saat ini.

.

Bandung , 13 Oktober 2005

Victor da Costa

koordinator GENTAR

(Gerakan Nurani untuk Indonesia Raya)

No comments: